Tabuik |
Tabuik merupakan budaya wisata Kota Pariaman, yang diadakan setiap tahun
tepatnya sepuluh hari bulan Muharram. Hari itu dijadikan hari terakhir
yang merupakan puncak acara Tabuik di Pariaman. Pagi setelah subuh,
sebelum tabuik digelar dilaksanankan Upacara “Tabuik Naiak Pangkek“.
Tabuik Naiak Pangkek maksudnya memasangkan bagian atas atau puncak
Tabuik keatas badan Tabuik yang berbentuk Buraq. Buraq berbadan seperti
kuda, mempunyai sayap dan berkepala seorang gadis cantik memakai destar.
Sorotan matanya tajam tanpa senyum.
Ada dua buah Tabuik yang akan diarak dan dihoyak. Satu dari rumah Tabuik Kampuang Perak yang dikenal dengan “Tabuik Pasa“. Satu lagi dari Kampuang Jawa yang disebut dengan “ Tabuik Subarang“.
Sebenarnya
pesta tahunan ini telah dimulai sejak dua minggu yang lalu, sesuai
dengan proses pembuatan Tabuik. Kegiatannya dimulai dengan upacara “Mengambil Tanah, Mengambil Batang Pisang dan sebagainya“.
Upacara ini dilakukan di lokasi rumah Tabuik yang berlainan. Kegiatan
kubu Tabuik Subarang, dilakukan dalam lokasi rumah Tabuik Pasa dan
sebaliknya. Semua kegiatan tersebut dilakukan pada malam hari. Kegiatan
itu selalu diiringi dengan hura – hura yang dimeriahkan dengan bunyi Tambua dan Tasa yang bertalu-talu.
Sejak
Pagi Kota Pariaman sudah didatangi pengunjung. Mereka berdatangan dari
seluruh pelosok daerah, bahkan banyak juga Wisatawan dari Mancanegara.
Tak lama berselang “Kota Sala Lauak” tenggelam dalam lautan manusia. Mereka berjejal sepanjang pinggiran jalan yang akan dilewati Tabuik.
“Trarak . . . , trarak . . . , trarak, bum-bum, trarak bum-bum, trarak bum-bum.” Bunyi
tambua dan tasa serta sorak sorai manusia. Kedua Tabuik keluar dari
rumahnya masing-masing. Tiap kubu menggelar dan mengarak Tabuiknya
di jalan raya. Dibelakang tabuik ada sekelompok gendang dan tasa .
Tabuik diusung dan dihoyak oleh beberapa orang pemuda yang
bertubuh tegap dan kekar. Tabuik juga diiringi oleh beberapa orang
pemuda lainnya, beserta beberapa orang tua - tua.
Kedua
pasukan menuju Panggung Kehormatan tempat Tabuik dihoyak. Disana
menunggu para pejabat pemerintah dan pemuka masyarakat. Disepanjang
jalan yang dilalui, kedua Tabuik mendapat sambutan, pujian, sanjungan
dan tepuk tangan yang meriah dari penonton atau pengunjung.
Mendekati
panggung kehormatan tempat Tabuik dihoyak suasana semakin meriah.
Masing-masing kubu atau pasukan tambah semangat dan semakin panas.
Mereka seakan-akan membakar udara Kota Sala Lauak yang sudah panas itu. Sorak-sorai menyertai alunan irama gendang dan tasa yang ditambuh kedua iring-iringan. “Trarak bum-bum . . . . , trarak bum-bum, trarak bum-bum,” bahananya menggelegar seolah-olah Kota Pariaman turut berguncang dibuatnya.
Panggung
Kehormatan tempat Tabuik dihoyak sudah dekat. Inilah saat
dinanti-nantikan para pengunjung dan pencinta Tabuik. Banyak para
pengunjung yang sudah siap dangan kameranya. Mereka ingin mengabadikan
puncak acara sebuah pesta kolosal.
Tabuik
diarak dan dihoyak berkeliling dan berputar-putar disekitar arena,
suasana gemuruh, tempik sorak, bunyi tambua dan tasa tak terpisahkan
lagi. Sungguh mengembirakan, bersemangat dan membanggakan. Hari itu tak
ada susah dan duka di Kota Pariaman.
Menjelang
tengah hari, Tabuik di istirahatkan. Anak-anak tabuik sudah lelah.
Mereka melepaskan lelah dan makan minum seperlunya. Para pengunjung memasuki warung dan lapau. Ada
juga yang berjalan menuju pantai untuk melihat-lihat pesona pemandangan
laut Pariaman yang dihiyasi oleh pulau-pulau yang berjajar dan
perahu-perahu nelayan yang berlayar di lautan yang biru itu. Mereka
sengaja menghabiskan waktunya sehari penuh di Kota Pariaman. Mereka
ingin menyaksikan pesta budaya ini, yang hanya diadakan sekali satahun.
“ Trarak, trarak, trarak bum-bum, trarak bum-bum, trarak bum-bum,” bunyi
tambua dan tasa disertai teriakan kembali memecahkan ketenangan
istirahat. Hari sudah pukul 16:00. Kedua Tabuik kembali diusung dan
diarak menuju pantai, dibelakang stasiun kereta api. Acara ini tak
kurang meriahnya dari pada saat mulai tabuik digelar.
Para
pengunjung dan penonton berjubel dan berjejer kembali disepanjang jalan
menuju stasiun. Berangsur-angsur tabuik digotong dan diarak mendekati
pantai. Ratusan ribu pengunjung tak sabar lagi. Bnayak para Wisnu dan
Wisnuman membidikkan kameranya kearah Tabuik dan pengunjung.
Hari
sudah petang. Tabuik akan dibuang. Tempatnya laut yang bergelombang
yang biru dan indah. Setapak demi setapak Tabuik berangsur mencapai
laut. Ombang dan gelombang datang silih berganti menghempas dipantai
yang landai. Anak-anak berlari-hari, berenang sambil bermain ombak.
Cahaya matahari sudah kemerah-merahan. Hari sudah senja. Burrrr . . . . , Tabuik Pasa yang diiringi Tabuik Subarang mencebur kelaut, tempat peraduannya. Tamatlah sudah riwayat kedua Tabuik itu.
Anak-anak
berebutan mendapatkan tuah. Bagian-bagian Tabuik diperebutan. Kerangka
Tabuik dari rotan, kain pembalut buraq dan kain beludru jadi incaran
mereka. Mereka saling berebutan, tarik-tarikan. Anak Tabuik sudah pulang
ke rumah masing-masing. Para pengunjung pun berangsur-angsur pulang ke rumahnya. Suasana “Pariaman Laweh Kota Sala Lauak” kembali sunyi seperti biasa, menjelang datangnya musim Tabuik tahun datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar